ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi semakin
mendorong munculnya berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat
melalui kecanggihan teknologi informasi tersebut dalam hal ini internet.
Salah satu kegaiatan di dunia maya termaksud antara lain transaksi jual beli
secara elektronik (electronic commerce). Pada transaksi jual beli melalui
internet ini tidak menutup kemungkinan timbulnya berbagai perbuatan yang
melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Oleh
karena itu perlu dipikirkan solusinya berupa tindakan hukum yang dapat
dilakukan atas suatu perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual
beli melalui internet ini. Dengan demikian kasus-kasus seperti itu tetap
dapat diselesaikan secara hukum, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang
pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
The development of the technology information
has encougaded the existance of many activities performed by society through
the sophisticated information technology, in this chase is internet. One
of activities in the cyberg discussed in this term is electronic
commerce. In the electronic commerce it self, it may create the existance
of many breaking law actions. Therefore, it is essential to think the solutionof
these problems in the form of law in actions, given to some tort in the
electronic commerce in internet. As the consequency, such cases can be
solved in law order and there will not be any vacuum of law that finally may
cause a greater lost.
A. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
melahirkan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak yang
negatif. Dampak positif tentu saja merupakan hal yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan manusia di dunia termasuk di negara
Indonesia sebagai negara berkembang, yang mana hasil dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini diramu dalam berbagai bentuk dan konsekuensinya
sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampak negatif yang timbul
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus juga dipikirkan
solusinya karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada kehidupan
manusia, baik kehidupan manusia secara fisik maupun kehidupan mentalnya.
Salah satu hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini antara lain adalah teknologi dunia maya yang dikenal dengan
istilah internet. Melalui internet seseorang dapat melakukan berbagai
macam kegiatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional tetapi
juga secara global bahkan internasional, sehingga kegiatan yang dilakukan
melalui internet ini merupakan kegiatan yang tanpa batas, artinya seseorang
dapat berhubungan dengan siapapun yang berada dimanapun dan kapanpun.
Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang
dikenal dengan istilah Electronic Commerce yaitu suatu kegiatan
yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena transaksi jual beli secara
elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga
seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan
kapanpun. Dengan demikian semua transaksi jual beli melalui internet ini
dilakukan tanpa ada tatap muka antara para pihaknya, mereka mendasarkan
transaksi jual beli tersebut atas rasa kepercayaan satu sama lain, sehingga
perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara
elektronik pula baik melalui e-mail atau cara lainnya, oleh karena itu tidak
ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional.
Kondisi seperti itu tentu saja dapat menimbulkan berbagai akibat hukum dengan
segala konsekuensinya, antara lain apabila muncul suatu perbuatan yang melawan
hukum dari salah satu pihak dalam sebuah transaksi jual beli secara elektronik
ini, akan menyulitkan pihak yang dirugikan untuk menuntut segala kerugian yang
timbul dan disebabkan perbuatan melawan hukum itu, karena memang dari awal
hubungan hukum antara kedua pihak termaksud tidak secara langsung berhadapan,
mungkin saja pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tadi berada di
sebuah negara yang sangat jauh sehingga untuk melakukan tuntutan terhadapanya
pun sangat sulit dilakukan tidak seperti tuntutan yang dapat dilakukan dalam
hubungan hukum konvensional/biasa. Kenyataan seperti ini merupakan
hal-hal yang harus mendapat perhatian dan pemikiran untuk dicarikan
solusinya, karena transaksi jual beli yang dilakukan melalui internet tidak
mungkin terhenti, bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam
dunia internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna
internet tersebut tidak mencukupi, dengan demikian harus diupayakan untuk
tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi termaksud. Pada
penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai macam pertanyaan berkenaan
dengan masalah perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli melalui
internet ini, antara lain perbuatan melawan hukum yang mungkin timbul
dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui
internet, kendala-kendala dalam mengatasi perbuatan melawan hukum pada
suatu transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet, serta
tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku perbuatan melawan
hukum pada suatu transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet.
B. Aspek-Aspek Hukum Transaksi Jual beli
Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”
merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi
segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan
perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli secara elektronik.
Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar
1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap
berlaku sebelum diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini.
Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada
di Indonesia masih tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila
ketentuan termaksud memang belum diubah atau dibuat yang baru.
Berbicara menganai transaksi jual beli secara
elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana
termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian
terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya
ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi
mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak,
maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya
perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan
bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
- Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
- Kecakapan para pihak dalam perjanjian
- Suatu hal tertentu
- Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari
para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian
tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog)
Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian
maksudnya bahwa para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa yaitu
telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan
oleh undang-undang. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan
sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan
orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.[1]
Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek
perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan
dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta
mungkin untuk dilakukan para pihak.
Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud
harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH
Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab
dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.[2]
Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak
merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak
tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para
pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya
perjanjian yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian.
Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian secara keseluruhan, misalnya unsur
kesepakatan sebagai persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat
perjanjian pada saat ini telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya.
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat
dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja.
Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of
contract). Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur
perjanjian yaitu :
transaksi jual beli yaitu :[3]
- unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
- unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
- unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”
Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula
beberapa macam azas yang dapat diterapkan antara lain :
- Azas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat
- Azas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian
- Azas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
- Azas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
- Azas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan
- Azas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian
- Azas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya
- Azas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
- Azas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.
Semua ketentuan perjanjian tersebut diatas dapat
diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan melalui media internet, seperti
perjanjian jual beli secara elektronik, sebagai akibat adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut Pasal 1457 KUH Perdata,
jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan. Jual beli tidak hanya dapat
dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan pembeli, tetapi juga
dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli, sehingga mereka
tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan melalui media
internet/secara elektronik.
Dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait
didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang berkedudukan
sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam
hal ini penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :
- beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan pasal 8
Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan
yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku
usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang :
- tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;
- tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
- tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
- tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Disamping itu, pelaku usaha atau penjual juga tidak
diperkenankan menjual barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang termaksud; atau
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Dengan demikian apabila terjadi hal seperti itu, maka pelaku usaha atau penjual
wajib menarik barang yang diperdagangkannya itu dari peredaran.
Pada kenyataannya pelaku usaha atau penjual sering melakukan tindakan yang
merugikan dalam menjual produk-produknya hingga menimbulkan kerugian bagi para
pembeli atau konsumennya. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen telah dengan tegas memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam hal ini
penjual dalam menawarkan dan menjual produknya tersebut antara lain termuat
dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa penjual
dilarang menawarkan mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa
secara tidak benar dan atau seolah-olah :
- Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
- Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;
- Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
- Barang dan/atau jasa termaksud dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
- Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
- Barang tersebut tidak mengandung cacat tersebunyi;
- Barang tersebut merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;
- Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
- Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti
aman, tidak menimbulkan efek samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko
atau bahkan tanpa keterangan yang lengkap.
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang
belum pasti.
Dengan demikian seorang penjual tida diperbolehkan
menawarkan dan atau menjual barang dan atau jasa melalui penawaran yang
mengadung pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau
tarif barang dan atau jasa; kegunaan barang dan atau jasa; kondisi, tanggungan,
jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa; tawaran potongan
harga atau hadiah menarik serta bahaya penggunaan barang dan atau jasa,
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang perlindungan
Konsumen. Pelaku usaha atau penjual dilarang pula untuk menawarkan dan
memperdagangkan barang dan atau jasanya dengan cara pemaksaan yang dapat
menimbulkan gangguan fisik dan atau psikis terhadap konsumen atau
pembelinya. Apabila transaksi jual beli dilakukan dengan sistem pesanan,
maka pelaku usaha atau penjual harus menepati kesepakatan yang telah dibuat
dengan konsumen atau pembeli sehingga tidak melampaui batas waktu yang telah
diperjanjikan. Bagi para pelaku usaha atau penjual yang menawarkan
produknya melalui suatu iklan, tidak diperkenankan mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau jasa,
jaminan/garansi atas barang dan atau jasa; juga dilarang untuk memberi
informasi yang salah mengenai barang dan atau jasa yang ditawarkan termasuk
risiko pemakaiannya serta melanggar etika periklanan lainnya.
Pelaku usaha atau penjual yang mengadakan
hubungan hukum dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat klausula
baku maka harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam
proses jual beli antara lain :
- Menentukan dan menerima harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus disepakati oleh pembeli.
- Penjual juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beritikad tidak baik, kemudian haknya untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam suatu penyelesaian sengketa yang dikarenakan barang yang dijualnya, dalam hal ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual., dan sebagainya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6, pelaku usaha dalam
hal ini termasuk penjual memiliki hak-hak sebagai berikut :
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa;
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
- Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan
kewajiban pembeli sebagai pihak dalam perjanjian jual beli.
Kewajiban pembeli juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Pembeli sebagai konsumen mempunyai kewajiban dalam
proses jual beli sebagai berikut :
- Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan barang dan atau jasa yang dibelinya.
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa tersebut.
- Membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian sesuai nilai tukar yang telah disepakati. Harga termaksud berupa sejumlah uang meskipun hal ini tidak ditegaskan dalam undang-undang, tetapi dianggap telah terkandung dalam pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1465 KUH Perdata, apabila pembayaran tersebut berupa barang, maka hal tersebut menggambarkan bahwa yang terjadi bukanlah suatu proses jual beli tapi tukar menukar, atau pembayaran yang dimaksud berupa jasa berarti mencerminkan perjanjian kerja. Pada dasarnya harga dalam suatu perjanjian jual beli ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun pada kenyataannya ada juga harga dalam jual beli yang ditentukan oleh pihak ketiga, dengan demikian, hal tersebut dianggap sebagai perjanjian jual beli dengan syarat tangguh, yang mana perjanjian dianggap ada pada saat pihak ketiga menentukan harga termaksud. Berdasarkan Pasal 1465 KUH Perdata, segala biaya untuk membuat akta jual beli dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pembeli, kecuali diperjanjikan sebaliknya. Selain harga pembayaran dalam suatu proses jual beli diatur pula mengenai waktu dan tempat dilakukannya pembayaran, biasanya pembayaran dilakukan di tempat dan pada saat diserahkannya barang yang diperjual belikan atau pada saat levering, sebagaimana diatur dalam Pasal 1514 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa apabila pada saat perjanjian jual beli dibuat tidak ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang.
- Biaya akta-akta jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh pembeli.
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari proses jual beli termaksud.
Selain kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang
dianggap sebagai konsumen juga memiliki hak dalam proses jual beli sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
- Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
- Hak untuk mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang dan atau jasa yang diperjualbelikan
- Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif
- Hak untuk didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang dibelinya.
- Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut timbul sengketa.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dengan demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli
sebagai para pihak dalam perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar
dan lancar, apabila para pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual
dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik,
walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun tetap
ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap
ditaati.
C. Transaksi Jual Beli Melalui
Internet (Electronik Commerce)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Rancangan
Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), disebutkan
bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan
di atas. Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang
terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu
bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai
ketentuan Pasal 1 angka 18 RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam
dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama
halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata,
dilakukan oleh para pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara
elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain,
tetapi berhubungan melalui internet. Dalam transaksi jual beli secara
elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain[4]:
- Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;
- Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha/merchant.
- Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena pada transaksi jual beli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini bank;
- Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara
elektronik tersebut diatas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
Penjual/pelaku usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui
internet, oleh karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi
secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli atau
konsumen. Disamping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang
diperkenankan oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut
bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak
ataupun mengandung cacat tersebunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah
barang yang layak untuk diperjualbelikan. Dengan demikian transaksi jual beli
termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi
pembelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak
untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang
dijualnya, juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan
pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual
beli secara elektronik ini.
Seorang pembeli/ konsumen memiliki kewajiban untuk
membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan
harga yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut.
Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang
sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain,
pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang
akan dibelinya dari seoarng penjual, sehingga pembeli tidak dirugikan atas
produk yang telah dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapatkan
perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak
baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli
secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk
dari pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen
yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi
yang letaknya saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus menggunakan
fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah
dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening
pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara
elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan
layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual
beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual yang menawarkan
produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerjasama antara
penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui
internet ini.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan
hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari
sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang
berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi
dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya tejadi antara
pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak dibawah
ini[5]:
- Business to Business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerjasama antara perusahaan itu.
- Customer to Customer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu dengan individu yang akan saling menjual barang
- Customer to Business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya
- Customer to Government, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam pembayaran pajak.
Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam
suatu transaksi jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan
individu saja tetapi dapat individu dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan
perusahaan atau bahka antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa
para pihak termaksud secara perdata telaha memenuhi persyaratan untuk dapat
melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara
elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia
nyata. Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan
dalam beberapa tahap, sebagai berikut [6]:
- Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui websitepada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual beli melalui di toko on line ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran melalui internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu, apabila seseorang tidak menggunakan media internet dan tmemasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian penawaran melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut.
- Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk ke dalam website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli baranga yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.
- Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpun pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut [7]:
- Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing;
- Pembayaran dua puhak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya;
- Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain : sistem pembayaran memalui kartu kredit on line serta sistem pembayaran check in line.
Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka
pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau
pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening penjual. Berdasarkan
kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melaui kartu kredit dengan cara
memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam
penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini
sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antara
penjual dengan pembeli, walaupun dimungkinkan untuk dilakukan.
- Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara
elektronik yang telah diuraikan diatas menggambarkan bahwa ternyata jual
beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual
dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui
media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi
yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah
payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas
dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
D. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi
Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce)
Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum
termasuk transaksi jual beli secara elektronik tidak terlepas dari kemungkinan
timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu atau kedua pihak,
dan pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai
Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.”
Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan
dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu : [8]
- ada perbuatan melawan hukumnya
- ada kesalahannya
- ada kerugiannya, dan
- ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.
Suatu perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi
dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan harus dapat dibuktikan
unsur-unsurnya tersebut diatas. Apabila unsur-unsur diatas tidak
terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan
melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar
undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan
kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum,
atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah
mengandung unsur kesalahan atau tidak.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan
kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan
dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian hakim harus dapat
menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang
dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat
ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya. [9]
Seseorang tidak dapat dituntut telah melakukan
perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan
darurat/noodweer, overmacht, realisasi hak pribadi, karena perintah kepegawaian
atau salah sangka yang dapat dimaafkan. Apabila unsur kesalahan dalam
suatu perbuatan dapat dibuktikan maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan perbuatannya tersebut, namun seseorang tidak hanya bertanggungjawab
atas kerugian yang disebabkan kesalahannnya sendiri, tetapi juga karena
perbuatan yang mengandung kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang
menjadi tanggungannya, barang-barang yang berada di bawah pengawasannya serta
binatang-binatang peliharaannya, sebagaimana ditentupan dalam Pasal 1366 sampai
dengan Pasal 1369 KUH Perdata.
Kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum dapat
berupa kerugiaan materiil dan atau kerugian immateriil. Kerugian
materiil dapat terdiri kerugian nyata yang diderita dan keuntungan yang
diharapkan. Berdasarkan yurisprudensi, ketentuan ganti
kerugian karena wanprestasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1243
sampai Pasal 1248 KUH Perdata diterapkan secara analogis terhadap ganti
kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum. Kerugian immateriil
adalah kerugian berupa pengurangan kenyamanan hidup seseorang, misalnya karena
penghinaan, cacat badan dan sebagainya, namun seseorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum tidak selalu harus memberikan ganti kerugian atas
kerugian immateril tersebut.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang
yang melakukan perbuatan melawan hukum, selain harus adanya kesalahan, Pasal
1365 KUH Perdata juga mensyaratkan adanya hubungan sebab akibat/hubungan kausal
antara perbuatan melawan hukum, kesalahan dan kerugian yang ada, dengan
demikian kerugian yang dapat dituntut penggantiannya hanyalah kerugian yang
memang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut.
Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUH Perdata ini dapat pula digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti
kerugian atas perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam proses transaksi jual
beli secara elektronik, baik dilakukan melaui penyelesaian sengketa secara
litigasi atau melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan, maupun penyelesaian
sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan misalnya dengan cara
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase.
Pada transaksi jual beli secara elektronik terdapat
beberapa kendala yang sering muncul anatar lain :
- Pilihan hukum (choise of law) dalam rangka penyelesaian sengketa yang timbul, walaupun pada perjanjian biasanya telah dicantumkan mengenai pilihan hukum ini, tapi pada kenyataannya masalah baru justru muncul dalam hal penentuan mengenai hukum mana yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. Meskipun komunikasi antara para pihak yang terkait dalam proses jual beli secara elektronik ini dapat dilakukan melalui media internet, namun tidak seefektif dan seefisien komunikasi yang dilakukan secara langsung bertatap muka. dalam transaksi jual beli secara elektronik.
- Proses pembuktian adanya suatu perbuatan melawan hukum agak sulit untuk dilakukan, karena masing-masing pihak yang terkait dalam transaksi jual beli melalui internet ini tidak berhadapan secara langsung, baik masih dalam ruang lingkup satu negara bahkan tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak berada pada negara yang berbeda, sementara untuk dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pada kenyataannya penyelesaian sengketa dalam transaksi jual beli secara elektronik dapat dilakukan melalui media internet, tetapi tetap harus mengikuti ketentuan dalam penyelesaian sengketa yang berlaku, dan hal ini menjadi kendala pula sehingga pada akhirnya proses pembuktian adanya perbuatan melawan hukum tersebut sulit untuk dibuktikan.
- Minimnya pengetahuan dan keahlian pihak-pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam dunia maya, khususnya transaksi jual beli secara elektronik.
- Belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dunia maya, termasuk transaksi jual beli secara elektronik. Pada saat ini, di Indonesia telah dibuat Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun sampai saat ini belum diundangkan dan belum diberlakukan, sehingga terhadap permasalahan hukum yang timbul dari berbagai macam kegiatan dalam internet termasuk masalah perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik termaksud hanya dapat diterapkan ketentuan hukum yang ada seperti ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, dengan cara melakukan perbandingan atau penafsiran hukum serta konstruksi hukum.
- Sulitnya pelaksaan putusan dari suatu proses penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, karena walaupun sengketa yang ada dapat diselesaikan baik secara litigasi maupun secara non litigasi, namun pelaksanaan putusannya terkadang membutuhkan daya paksa dari pihak berwenang, dalam hal ini lembaga peradilan yang mengadili kasus tersebut, sementara para pihak yang bersengketa mungkin berada dalam wilayah yang berbeda, dengan demikian secara teknis akan menimbulkan kesulitan, karena daya paksa yang dimaksud harus diberikan secara langsung tanpa melalui internet.
Dengan demikian dalam menghadapi kasus perbuatan
melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat diterapkan
ketentuan yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk
digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak ada batas
ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia bermasalah dengan warga negara
asing. Pilihan hukum yang dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh
isi perjanjian awal pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik.
Ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan
melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik adalah
ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH
Perdata. Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara
melakukan penafsiran hukum ekstensif yaitu memperluas arti kata perbuatan
melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi
juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal
ini pada transaksi jual beli secara elektronik. Selain itu, dapat pula
diterapkan Pasal 1365 KUH Perdata dengan melakukan konstruksi hukum analogi
yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan
di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga pada akhirnya unsur-unsur perbuatan
melawan hukum sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun
pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap
diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi
secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum.
Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
sehingga tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau
belum lengkap peraturannya. Dengan demikian diharapkan kasus-kasus yang
mengandung adanya perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara
elektronik, tetap dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku
sekarang ini.
E. Tindakan Hukum Atas perbuatan melawan Hukum
Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (Electronic Commerce)
Menurut ketentuan RUU Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), khusunya Pasal 34 dikatakan bahwa masyarakat dapat mengajukan
gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menggunakan teknologi informasi
yang berakibat merugikan masyarakat. Seseorang dapat melakukan gugatan
secara perwakilan atas nama masyarakat lainnya yang dirugikan tanpa harus
terlebih dahulu memperoleh surat kuasa sebagaimana lazimnya kuasa hukum.
Gugatan secara perwakilan dimungkinkan apabila telah memenuhi hal-hal
sebagai berikut :
- Masyarakat yang dirugikan sangat besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan tersebut diajukan secara perorangan menjadi tidak efektif;
- Sekelompok masyarakat yang mewakili harus mempunyai kepentingan yang sama dan tuntutan yang sama dengan masyarakat yang diwakilinya, serta sama-sama merupakan korban atas suatu perbuatan melawan hukum dari orang atau lembaga yang sama.
Ganti kerugian yang dimohonkan dalam gugatan
perwakilan dapat diajukan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah
diderita, biaya-biaya pemulihan atas ketertiban umum dan norma-norma kesusilaan
yang telah terganggu serta biaya perbaikan atas kerusakan yang diderita sebagai
akibat langsung dari perbuatan Tergugat yang melawan hukum tersebut. Gugatan
yang diajukan bukan merupakan gugatan ganti rugi saja akibat perbuatan melawan
hukum, tetapi juga memohon kepada pengadilan untuk memerintahkan orang yang
sudah melakukan perbuatan melawan hukum itu dalam pemanfaatan teknologi
informasi, dalam hal ini transaksi jual beli secara elektronik termaksud tidak
mengabaikan aspek peleyanan terhadap publik.
Sementara Pasal 35 RUU Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) ini menegaskan bahwa gugatan perdata dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan penyelesaian sengketa tersebut
diatas khususnya sengketa yang timbul dalam transaksi jual beli melalui media
internet ini dapat diselesaiakan secara alternatif di luar pengadilan.
Ada beberapa tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh
pihak yang berkepentingan atas terjadinya perbuatan melawan hukum yang telah
dilakukan oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerugian, yaitu menyelesaikan
sengketa tersebut baik secara litigasi atau pengajuan surat gugatan melalui
lembaga peradilan yang berwenang sesuai ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku di Indonesia atau berdasarkan hukum acara yang dipilih oleh para pihak,
maupun secara non litigasi atau di luar pengadilan, antara lain melalui cara
adaptasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi serta arbitrase sesuai ketentuan yang
berlaku. Penentuan cara dalam menyelesaikan sengketa seperti tersebut di
atas, tergantung kesepakatan para pihak yang bersengketa, dan biasanya telah
dicantumkan pada perjanjian sebagai klausula baku tertentu. Apabila dalam
perjanjian jual beli semula beluam ada kesepakatan mengenai cara penyelesaian
sengketanya, maka para pihak tetap harus sepakat memilih salah satu cara
penyelesaian sengketa yang terjadi, apakah secara litigasi atau non litigasi.
Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah
secara litigasi, maka harus diperhatikan ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku. Di Indonesia, sesuai ketentuan hukum acara perdatanya, maka
suatu perbuatan melawan hukum harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan di
lembaga peradilan mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sampai tingkat
akhir (Pengadilan Tinggi atau mungkin Mahkamah Agung) dengan syarat adanya
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti (inkracht
van gewijsde).[10]
Gugatan yang diajukan didasari dengan ketentuan hukum
perdata yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Selanjutnya pada proses pembuktian,
harus dapat dibuktikan unsur-unsur yang menunjukkan adanya perbuatan melawan
hukum ini melalui alat-alat bukti yang diakui dalam Pasal 164 HIR (Het
Herziene Indonesisch Reglement), baik bukti secara tertulis (misalnya print
out dokumen-dokumen yang berhubungan dengan transaksi jual beli secara
elektronik tersebut), saksi-saksi termasuk saksi ahli (sepeti ahli teknologi
informasi dan sebagainya) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR, persangkaan,
pengakuan dan sumpah. Berdasarkan ketentuan Uncitral Model Law, print
out dari suatu transaksi jual beli secara elektronik dapat digunakan
sebagai bukti tertulis, oleh karena itu Indonesia dapat merujuk ketentuan
termaksud, sebab Indonesia telah menjadi warga dunia yang ditandai dengan
masuknya Indonesia menjadi anggota World Trade Organization.[11] Dengan demikian hakim akan
mendapatkan keyakinan mengenai perbuatan melawan hukum yang telah terjadi.
Penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum
yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektroik dapat pula dilakukan
secara non litigasi, antara lain [12]:
- Proses adaptasi atas kesepakatan antara para pihak sebagaimana dituangkan dalam perjanjian jual beli yang dilakukan melalui media internet tersebut. Maksud adaptasi ini adalah para pihak dapat secara sepakat dan bersama-sama merubah isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga perbuatan salah satu pihak yang semula dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pada akhirnya tidak lagi menjadi perbuatan melawan hukum;
- Negosiasi, yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, baik para pihak secara langsung maupun melalui perwakilan masing-masing pihak;
- Mediasi, merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan perantara pihak ketiga/mediator yang berfungsi sebagai fasilitator, tanpa turut campur terhadap putusan yang diambil oleh kedua pihak;
- Konsiliasi, juga merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun mirip pengadilan sebenarnya, dimana ada pihak-pihak yang di nggap sebagai hakim semu;
- Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa secara non litigasi, dengan bantuan arbiter yang ditunjuk oleh para pihak sesuai bidangnya. Di Indonesia telah ada lembaga khusus arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim di pengadilan, dan atas putusan arbitrase ini tidak dapat dilakukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.
Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum yang timbul
dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet dapat diselesaikan
baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai kesepakatan para
pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang dapat berakibat menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi
F. Penutup
Dengan demikian perbuatan melawan hukum yang terjadi
dalam suatu hubungan hukum di dunia maya dalam hal ini pada transaksi jual beli
melalui internet, tetap dapat diselesaikan secara hukum, dengan menerapkan
Pasal 1365 KUH Perdata. Walaupun belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur khusus kegiatan-kegiatan dalam internet termasuk transaksi jual
beli melalui internet ini, namun ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
tersebut dapat diaplikasikan pada kasus-kasus perbuatan melawan hukum dalam
transaksi jual beli secara elektronik, melalui proses penafsiran hukum ektensif
dan atau konstruksi hukum analogis, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum di
Indonesia.
Kondisi tersebut diatas, merupakan hal yang harus
menjadi motivasi bagi pemerintah untuk secepatnya membuat, mengesahkan dan
memberlakukan peraturan yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan di dunia maya
sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan teknologi informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abdul Wahid, S.H. dan Mohammad Labib, S.H. Kejahatan
Mayantara. Bandung : Refika Aditama. 2005
Ahmad Mujahid Ramli, S.H., M.H., Prof. Cyber Law
dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
2004.
Edmon Makarim, S.H. Kompilasi Hukum Telematika.
Jakarta : PT. Gravindo Persada. 2000.
Gunawan Widjaja, S.H. & Ahmad Yani,S.H. Hukum
Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Mochtar Kusumaatmadja,S.H., Prof. Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan. Bandung : Alumni. 2002.
Retnowulan Sutantio,S.H. dan Iskandar Oerip,S.H. Hukum
Acara Perdata dalam Teori Dan Praktek. Bandung : Alumni. 2000.
Riduan Syahrani,S.H. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas
Hukum Perdata. Bandung. Alumni. 1992.
Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta
: Intermasa. 1979.
______. Aneka Perjanjian. Cetakan VII. Bandung
: Alumni. 1985.
Syamsu Gandapermana,S.H. Bahasa Belanda Hukum Dasar.
Bandung : STHB. 1996.
Wirjono Prodjodikoro,S.H. Perbuatan Melanggar Hukum.
Cetakan V. Bandung : Sumur Bandung. 1967.
Sumber Lain :
Hetty Hassanah,S.H. Metode Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Diktat Kuliah. Bandung : UNIKOM. 2005.
Johanes Gunawan, S.H. Reorientasi Hukum Kontrak Di
Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 22 No. 6 . 2003.
Otje Salman Soemadiningrat, S.H., Prof. Penulisan
Hukum Pada Fakultas Hukum UNIKOM. Makalah pada Seminar Up-Grading Teknik
Penyusunan Penulisan Hukum Oleh Lembaga Kajian Hukum UNIKOM. 12 Februari
2004.
Situs-Situs :
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik
.
(Hetty Hassanah, S.H)
[1] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan
Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 1992, hlm.217.
[2] Ibid, hlm.218
[3] R. Subekti, Aneka Perjanjian,
Cet.VII, Bandung:Alumni, 1985, hlm. 20
[4] Edmon makarim, Kompilasi Hukum
Telematika, Jakarta
T.Gravindo Persada, 2000,
hlm.65

[5] Ibid, hlm.77.
[6] Ibid, hlm. 82.
[7] Ibid, hlm.90.
[8]Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm.
273
[9] Subekti, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, Jakarta:Intermasa, 1979, hlm.56.
[10] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oerip, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung :Alumni,
2000, hlm. 156.
[11] Uncitral Model Law on Electronic
Commerce, http://www.Uncitral Model Law.com. Rabu, 14 Juni 2006
[12] Hetty Hassanah, Metode
Alternatif penyelesaian Sengketa, Materi Perkuliahan, Bandung : Unikom,
2005, hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar